Sabtu, 09 Juni 2012

Teori Belajar Konstruktivisme



2.1 Pengertian Teori Belajar Konstruktivisme
Belajar menurut  konstruktivisme adalah suatu proses mengasimilasikan dan mengkaitkan pengalaman atau pelajaran yang dipelajari dengan pngertian yang sudah dimilikinya, sehingga pengetahuannya dapat dikembangkan.
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon, kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.
Menurut teori ini, satu prinsip yang mendasar adalah guru tidak hanya memberikan pengetahuan kepada siswa, namun siswa juga harus berperan aktif membangun sendiri pengetahuan di dalam memorinya. Dalam hal ini, guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan membri kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan ide – ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan siswa anak tangga yang membawasiswa ke tingkat pemahaman yang lebih tinggi dengan catatan siswa sendiri yang mereka tulis dengan bahasa dan kata – kata mereka sendiri.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan, bahwa makna belajar menurut konstruktivisme adalah aktivitas yang aktif, dimana pesrta didik membina sendiri pengtahuannya, mencari arti dari apa yang mereka pelajari dan merupakan proses menyelesaikan konsep dan idea-idea baru dengan kerangka berfikir yang telah ada dan dimilikinya (Shymansky,1992).
Dalam mengkonstruksi pengetahuan tersebut peserta didik diharuskan mempunyai dasar bagaimana membuat hipotesis dan mempunyai kemampuan untuk mengujinya, menyelesaikan persoalan, mencari jawaban dari persoalan yang ditemuinya, mengadakan renungan, mengekspresikan ide dan gagasan sehingga diperoleh konstruksi yang baru.
Berkaitan dengan konstruktivisme, terdapat dua teori belajar yang dikaji dan dikembangkan oleh Jean Piaget dan Vygotsky, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
2.1.1     Teori Belajar Konstruktivisme Jean Piaget
Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau moderator. Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya.
Proses mengkonstruksi, sebagaimana dijelaskan Jean Piaget adalah sebagai berikut:
a)    Skemata
Sekumpulan konsep yang digunakan  ketika berinteraksi dengan lingkungan disebut dengan skemata.
Sejak kecil anak sudah memiliki struktur kognitif yang kemudian dinamakan skema (schema). Skema terbentuk karena pengalaman. Misalnya, anak senang bermain dengan kucing dan kelinci yang sama-sama berbulu putih. Berkat keseringannya, ia dapat menangkap perbedaan keduanya, yaitu bahwa kucing berkaki empat dan kelinci berkaki dua. Pada akhirnya, berkat pengalaman itulah dalam struktur kognitif anak terbentuk skema tentang binatang berkaki empat dan binatang berkaki dua. Semakin dewasa anak, maka semakin sempunalah skema yang dimilikinya. Proses penyempurnaan sekema dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi.
b)   Asimilasi
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru pengertian orang itu berkembang.
c)    Akomodasi
Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi tejadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.
d)   Keseimbangan
Ekuilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sedangkan diskuilibrasi adalah keadaan dimana tidak seimbangnya antara proses asimilasi dan akomodasi, ekuilibrasi dapat membuat seseorang menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamnya.
                                                                              
2.1.2     Teori Belajar Konstruktivisme Vygotsky
Ratumanan (2004:45) mengemukakan bahwa karya Vygotsky didasarkan pada dua ide utama. Pertama, perkembangan intelektual dapat dipahami hanya bila ditinjau dari konteks historis dan budaya pengalaman anak. Kedua, perkembangan bergantung pada sistem-sistem isyarat mengacu pada simbol-simbol yang diciptakan oleh budaya untuk membantu orang berfikir, berkomunikasi dan memecahkan masalah, dengan demikian  perkembangan kognitif anak mensyaratkan sistem  komunikasi budaya dan belajar menggunakan sistem-sistem ini  untuk menyesuaikan proses-proses berfikir diri sendiri.
Menurut Slavin  (Ratumanan, 2004:49)  ada dua implikasi utama teori Vygotsky dalam pendidikan. Pertama, dikehendakinya setting kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antar kelompok-kelompok siswa dengan kemampuan yang berbeda, sehingga siswa dapat berinteraksi dalam mengerjakan tugas-tugas yang sulit dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif di dalam daerah pengembangan terdekat/proksimal masing-masing. Kedua, pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran menekankan perancahan (scaffolding). Dengan scaffolding, semakin lama siswa semakin dapat mengambil tanggungjawab untuk pembelajarannya sendiri.
a.    Pengelolaan pembelajaran
Interaksi sosial individu dengan lingkungannya sengat mempengaruhi perkembanganbelajar seseorang, sehingga perkemkembangan sifat-sifat dan jenis manusia akan dipengaruhi oleh kedua unsur tersebut. Menurut Vygotsky dalam Slavin (2000), peserta didik melaksanakan aktivitas belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sejawat yang mempunyai kemampuan lebih. Interaksi sosial ini memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual peserta didik.
b.    Pemberian bimbingan
Menurut Vygotsky, tujuan belajar akan tercapai dengan belajar menyelesaikan tugas-tugas yang belum dipelajari tetapi tugas-tugas tersebut masih berada dalam daerah perkembangan terdekat mereka (Wersch,1985), yaitu tugas-tugas yang terletak di atas peringkat perkembangannya. Menurut Vygotsky, pada saat peserta didik melaksanakan aktivitas di dalam daerah perkembangan terdekat mereka, tugas yang tidak dapat diselesaikan sendiri akan dapat mereka selesaikan dengan bimbingan atau bantuan orang lain.

2.2 Implikasi Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
Dikatakan juga bahwa pembelajaran yang memenuhi metode konstruktivis hendaknya memenuhi beberapa prinsip, yaitu: a) menyediakan pengalaman belajar yang menjadikan peserta didik dapat melakukan konstruksi pengetahuan; b) pembelajaran dilaksanakan dengan mengkaitkan kepada kehidupan nyata; c) pembelajaran dilakukan dengan mengkaitkan kepada kenyataan yang sesuai; d) memotivasi peserta didik untuk aktif dalam pembelajaran; e) pembelajaran dilaksanakan dengan menyesuaikan kepada kehidupan social peserta didik; f) pembelajaran menggunakan barbagia sarana; g) melibatkan peringkat emosional peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuan peserta didik (Knuth & Cunningham,1996).

penggunaan alat peraga dalam pembelajaran matematika

A.     Peranan Alat Peraga Dalam Matematika
Dalam kegiatan belajar mengajar, guru harus mampu menjelaskan konsep kepada siswanya. Usaha ini dapat di bantu dengan alat peraga matematika, karena dengan bantuan alat-alat tersebut, yang sesuai dengan topik yang di ajarkan, konsep akan dapat lebih mudah di pahami dengan jelas.
Salah satu peranan alat peraga dalam matematika adalah meletakkan ide-ide dasar konsep. Dengan bantuan alat peraga yang sesuai, siswa dapat memahami ide-ide dasar yang melandasi sebuah konsep, mengetahui cara membuktikan suatu rumus atau teorema, dan dapat menarik suatu kesimpulan dari hasil pengamatannya.
Setelah siswa mendapat kesempatan terlibat dalam proses pengamatan dengan bantuan alat peraga, maka di harapkan akan tumbuh minat belajar matematika dalam dirinya. Dan akan menyenangi konsep yang di sajikan, kerena sesuai dengan tahap perkembangan mentalnya, yang masih menyenangi permainan.
Selain tumbuhnya minat, siswa dapat di bangkitkan motivasinnya. Melalui demonstrasi penggunaan alat peraga matematika, guru dapat merangsang munculnya motivasi dalam diri siswa untuk mempelajari materi lebih lanjut. Siswa yang merasa penasaran dan ingin lebih jauh tentang konsep yang di pelajarinya akan terus berusaha mempelajari konsep itu lebih mendalam.
Selain itu, pengajaran dengan menggunakan alat peraga akan dapat memperbesar perhatian siswa terhadap pengajaran yang dilangsungkan, karena mereka terlibat dengan aktiv dalam pengajaran yang dilaksanakan. Dengan bantuan alat paraga konsentrasi belajar dapat lebih ditingkatkan.
Alat peraga dapat pula membantu siswa untuk berpikir logis dan sistematik, sehingga mereka pada akhirnya memiliki pola pikir yang diperlukan dalam mempelajari matematika.
Dengan bantuan alat peraga matematika, siswa akan semakin mudah memahami hubungan antara matematika dan lingkungan alam sekitar. Siswa akan semakin mudah memahami kegunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Diharapkan, dengan adanya kesadaran seperti ini, mereka terdorong untuk mempelajari matematika lebih lanjut. Misalnya dengan penggunaan alat peraga dalam penjelasan konsep ruang berdimensi tiga, siswa akan semakin terlatih daya tilik ruangnya, sehingga pada akhirnya mampu menemukan atau menyadari hubungan antara matematika dengan lingkungan sekitar.
B.      Manfaat alat peraga dalam pengajaran matematika
Apakah manfaat alat peraga dalam pengajaran matematika ? pertanyaan ini sering muncul, terutama dikalangan pendidik yang mempunyai perhatian dalam pengembangan proses belajar-mengajar.
Menurut beberapa hasil penelitian, penggunaan alat peraga menunjang penjelasan konsep matematika. Penelitian yang dilaksanakan oleh Higgins dan Suydam tahun 1976 (dalam Ruseffendi, 1988:6), memberikan hasil-hasil berikut :
1.       Secara umum hasil penelitian yang dilaksanakan tersebut mengisyaratkan bahwa alat peraga berfungsi efektif dalam memotivasi belajar siswa.
2.       Terdapat perbandingan keberhsilan 6 :1 antara pengajaran yang menggunakan alat peraga dengan yang tidak menggunakannya.
3.       Memanipulasi (mengutak-atik) alat peraga yang sangat penting bagi siswa.
4.       Terdapat sedikit bukti yang menggambarkan bahwa memanipulasi alat peraga hanya berhasil bagi siswa-siswi yang tingkat rendah.
5.       Gambar dari benda, sebagai alat peraga dalam pengajaran, memiliki kegunaan yang tidak jauh berbeda dengan bendanya sendiri.
Penggunaan alat peraga harus dilaksanakan secara cermat. Jangan sampai konsep menjadi lebih rumit akibat di uraikan dengan bantuan alat peraga. Alat  peraga harus di gunakan secara tepat, disesuaikan dengan sifat pemateri yang disampaikan, metode pengajaran yang digunakan dan tahap perkembangan mental anak.
Penggunaan alat peraga harus mampu menghasilkan generalisasi atau kesimpulan abstrak dari representasi konkret. Maksudnya, dengan bantuan alat peraga yang sifatnya konkret, siswa diharapkan dapat menarik kesimpulan.
Alat peraga yang digunakan tanpa persiapan bisa mengakibatkan habisnya waktu dan sedikitnya materi yang disampaikan. Jika hal ini terjadi, maka dapat dikatakan bahwa alat peraga yang kita pakai atau cara penggunaan alat peraga yang kita lakukan tidak mencapai sasaran. Konsep yang menjadi semakin rumit untuk dipahami sebagai akibat digunakannya alat peraga, adalah suatu hal yang keliru. Jika suatu topic tertentu tidak memerlukan penggunaan alat peraga, penggunaan alat peraga tidak harus di paksakan, sebab, alat peraga pada hakikatnya tidak harus digunakan untuk setiap penjelasan topik-topik dalam matematika.
Alat peraga harus dibuat sebaik mungkin, menarik untuk diamati, dan mendorong siswa untuk bersifat penasaran (curious), sehingga diharapkan motivasi belajarnya semakin meningkat.
Alat peraga juga diharapkan menumbuhkan daya imajinsi dalam diri siswa. Misalnya alat peraga benda-benda ruang dapat mendorong siswa dalam meningkatkan daya tilik ruangnya, mampu membandingkannya dengan benda-bendasekitar dalam lingkungannya sehari-hari, dan mampu menganalisis sifat-sifat benda yang dihadapinya itu.
Misalnya, jika siswa telah menggunakan sebuah kubus, untuk mempelajari sifat-sifat yang dimiliki kubus, siswa terdorong untuk meneliti sifat-sifat benda nyata di alam sekitar yang memiliki bentuk serupa dengan kubus.
Diantara uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa beberapa manfaat penggunaan alat peraga diantaranya adalah membantu guru dalam :
1.      Memberikan penjelasan konsep
2.      Merumuskan atau membentuk konsep
3.      Melatih siswa dalam keterampilan
4.      Member penguatan konsep pada siswa (reinforcement)
5.      Melatih siswa dalam pemecahan masalah
6.      Mendorong siswa untuk berpikir kritis dan analitik
7.      Mendorong siswa untuk melakukan pengamatan terhadap suatu objek secara sendiri
8.      Melatih siswa untuk belajar menemukan suatu ide-ide baru dan relasinya dengan konsep-konsep yang telah diketahuinya.
9.      Melatih siswa dalam melakukan pengukuran
C.      Kriteria pemilihan alat peraga
Perlu kemahiran yang terlatih dalam hal menggunakan alat peraga metematika. Guru harus pandai menentukan alat peraga apa yang tepat untuk sebuah topik tertentu , kerena tidak semua topik dapat di jelaskan dengan alat peraga, dan tidak semua alat peraga mampu memperjelas sebuah konsep.
Jika alat peraga yang digunakan tanpa memperhatikan karakteristik alat peraga itu sendiri, maka hasil pengajaran akan jauh dari sasaran. Apabila hal ini sampai terjadi, berarti penggunaan alat peraga mengalami kegagalan
Tujuan utama penggunaan alat peraga adalah agar konsep-konsep atau ide-ide dalam matematika yang sifatnya abstrak itu dapat dikaji, dipahami dan dicapai oleh penalaran siswa, terutam siswa yang masih berada pada tahap berpikir konkret, atau semikonkret. Siswa yang dalam kedua tahap ini masih memerlukan  bantuan alat yang sifatnya nyata, terlihat dengan jelas, dalam menangkap ide atau konsep yang diajarkan. Misalnya untuk memperjelas proses penjumlahan 4 + 5 pada siswa yang berada pada tahap berpikir semikonkret, guru harus menunjukkan gambar gabungan antara 2 himpunan banda (misalnya himpunan mobil, bunga, atau yang lainnya). Banyak anggota himpunan-himpunan itu memperhatikan pada siswa bagaimana hasil 9 pada 4  + 5 diperoleh.


4 + 5 = 9

Setiap alat peraga yang digunakan oleh guru matematika dalam proses mengajarnya harus berdasarkan tujuan intruksional yang telah disusun. Artinya tujuan itulah yang menentukan alat peraga. Karana materi yang disajikan didasarkan pada tujuan yang ingin dicapai, maka dengan sendirinya alat peraga tersebut harus mengandung ide-ide atau konsep-konsep yang terkandung dalam materi tersebut.
Penggunaan alat peraga bisa menyita waktu, jika persiapannya kurang matang atau penjelasan konsepnya menjadi berbelit-belit. Pemilihan alat peraga yang  tidak tepat untuk sebuah konsep, bisa menyebabkan siswa menjadi bingung, terutama jika alat peraga tersebut mengakibatkan siswa yang sudah mampu berpikir abstrak, dipaksa kembali ketahap berpikir semikonkret. Siswa yang sudah mencapai berpikir semiabstrak atau abstrak akan sendirinya tidak tepat diberi penjelasan alat peraga, meskipun mungkin alat peraga tersebut cocok bagi siswa yang berada pada tahap berpikir semikonkret.
Alat peraga harus dapat digunakan untuk menstimulasi siswa dalam belajar matematika. Dengan demikian, alat peraga yang ditampilkan harus menarik perhatian siswa sehingga siswa senang mengutak-atiknya, dan ingin menelaah konsep jauh dan mendalam dengan bantuan alat peraga tersebut.
Dalam kegiatan belajar mengajar matematika guru dapat memilih metode pengajaran dan pendekatan yang sesuai dengan topik yang diajarkan. Metode tersebut bisa demonstrasi, simulasi, percobaan, dan sebagainya. Demikian pula dalam hal pendekatannya mungkin guru matematika menggunakan inkuiri, induktif, deduktif dan sebagainya. Ini berarti alat peraga yang digunakan tidak saja harus disesuaikan dengan tujuan pengajaran dan materi, namun harus juga disesuaikan dengan metode dan pendekatan yang digunakan.
Keadaan atau kondisi kelas juga harus menjadi perhatian guru disaat akan menentukan alat peraga yang akan digunakan. Untuk demonstrasi atau percobaan, guru memerlukan ruangan yang sudah disiapkan alat-alatnya, dan keadaan ruangannya harus memungkinkan untuk itu.
Jadi, hal-hal yang harus diperhatikan guru matematika dalam memilih alat peraga yang akan digunakannya yaitu:
a.       Tujuan Instruksional
b.      Materi Pelajaran
c.       Metode Dan Pendekatan
d.      Kondisi kelas
e.       Tahap Berpikir Siswa
D.    Alat Peraga Untuk Pengajaran Matematika
Dalam hal ini, akan dibicarakan tentang jenis-jenis alat peraga yang dapat digunakan dalam proses belajar mengajar di depan kelas, khususnya di tingkat SMP.
Alat peraga matematika dapat diperoleh dari lingkungan kita, misalnya batu-batuan, lidi, buah-buahan, bunga-bungaan  dan biji-bijian.
Khusus alat peraga matematika yang digunakan di depan kelas, misalnya :
  • Tangga garis Bilangan
Tangga garis bilangan merupakan alat peraga dan sekaligus merupakan alat permainan bagi siswa. Alat peraga ini manfaatnya adalah untuk menjelaskan konsep penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian.
Contoh  -3 + 5 = …….
-7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7
Jadi, kita berangkat dari -3 dan melompat sebanyak 5 kali ke arah kanan. Jadi hasilnya adalah 2. Begitu juga untuk pengurangan, tetapi untuk pengurangan, dia melompat ke kiri sebanyak jumlah yang ditentukan.
Contoh : -2 – 3 = ……
-7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7
Jadi, hasilnya adalah -5.
Masih banyak alat-alat peraga matematika yang sudah diuji keakuratannya, antara lain Neraca bilangan, Papan Fanel, Abacus, Roda Meteran, Mata Uang Logam, Paku Payung, Dadu Bermata dan masih banyak  lagi.