2.1 Pengertian Teori Belajar Konstruktivisme
Belajar menurut konstruktivisme adalah suatu proses
mengasimilasikan dan mengkaitkan pengalaman atau pelajaran yang dipelajari
dengan pngertian yang sudah dimilikinya, sehingga pengetahuannya dapat
dikembangkan.
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran
yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang
dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar
sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon,
kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau
menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan
pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan
yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan
dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan
dan menjadi lebih dinamis.
Menurut teori ini, satu prinsip yang mendasar
adalah guru tidak hanya memberikan pengetahuan kepada siswa, namun siswa juga
harus berperan aktif membangun sendiri pengetahuan di dalam memorinya. Dalam
hal ini, guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan membri
kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan ide – ide mereka
sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi
mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan siswa anak tangga yang
membawasiswa ke tingkat pemahaman yang lebih tinggi dengan catatan siswa
sendiri yang mereka tulis dengan bahasa dan kata – kata mereka sendiri.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan, bahwa
makna belajar menurut konstruktivisme adalah aktivitas yang aktif, dimana
pesrta didik membina sendiri pengtahuannya, mencari arti dari apa yang mereka
pelajari dan merupakan proses menyelesaikan konsep dan idea-idea baru dengan
kerangka berfikir yang telah ada dan dimilikinya (Shymansky,1992).
Dalam mengkonstruksi pengetahuan tersebut
peserta didik diharuskan mempunyai dasar bagaimana membuat hipotesis dan
mempunyai kemampuan untuk mengujinya, menyelesaikan persoalan, mencari jawaban
dari persoalan yang ditemuinya, mengadakan renungan, mengekspresikan ide dan
gagasan sehingga diperoleh konstruksi yang baru.
Berkaitan
dengan konstruktivisme, terdapat dua teori belajar yang dikaji dan dikembangkan
oleh Jean Piaget dan Vygotsky, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
2.1.1
Teori
Belajar Konstruktivisme Jean Piaget
Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis
pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa penekanan teori kontruktivisme pada
proses untuk menemukan teori atau pengetahuan yang dibangun dari realitas
lapangan. Peran guru dalam pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah
sebagai fasilitator atau moderator. Pandangan tentang anak dari kalangan
konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar
kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran
seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya.
Proses
mengkonstruksi, sebagaimana dijelaskan Jean Piaget adalah sebagai berikut:
a)
Skemata
Sekumpulan konsep yang
digunakan ketika berinteraksi dengan
lingkungan disebut dengan skemata.
Sejak kecil anak sudah
memiliki struktur kognitif yang kemudian dinamakan skema (schema). Skema terbentuk
karena pengalaman. Misalnya, anak senang bermain dengan kucing dan kelinci yang
sama-sama berbulu putih. Berkat keseringannya, ia dapat menangkap perbedaan
keduanya, yaitu bahwa kucing berkaki empat dan kelinci berkaki dua. Pada
akhirnya, berkat pengalaman itulah dalam struktur kognitif anak terbentuk skema
tentang binatang berkaki empat dan binatang berkaki dua. Semakin dewasa anak,
maka semakin sempunalah skema yang dimilikinya. Proses penyempurnaan sekema
dilakukan melalui proses asimilasi
dan akomodasi.
b)
Asimilasi
Asimilasi adalah proses kognitif
dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke
dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang
sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian
atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan
terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan
perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam
mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru pengertian
orang itu berkembang.
c)
Akomodasi
Dalam menghadapi rangsangan
atau pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang
baru dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi
sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian
orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi tejadi untuk membentuk skema baru
yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada
sehingga cocok dengan rangsangan itu.
d)
Keseimbangan
Ekuilibrasi adalah
keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sedangkan diskuilibrasi adalah
keadaan dimana tidak seimbangnya antara proses asimilasi dan akomodasi,
ekuilibrasi dapat membuat seseorang menyatukan pengalaman luar dengan struktur
dalamnya.
2.1.2
Teori
Belajar Konstruktivisme Vygotsky
Ratumanan (2004:45) mengemukakan bahwa karya
Vygotsky didasarkan pada dua ide utama. Pertama, perkembangan intelektual dapat
dipahami hanya bila ditinjau dari konteks historis dan budaya pengalaman anak.
Kedua, perkembangan bergantung pada sistem-sistem isyarat mengacu pada
simbol-simbol yang diciptakan oleh budaya untuk membantu orang berfikir,
berkomunikasi dan memecahkan masalah, dengan demikian perkembangan
kognitif anak mensyaratkan sistem komunikasi budaya dan belajar
menggunakan sistem-sistem ini untuk menyesuaikan proses-proses berfikir
diri sendiri.
Menurut Slavin (Ratumanan,
2004:49) ada dua implikasi utama teori Vygotsky dalam pendidikan. Pertama, dikehendakinya setting kelas berbentuk
pembelajaran kooperatif antar
kelompok-kelompok siswa dengan kemampuan yang berbeda, sehingga siswa dapat
berinteraksi dalam mengerjakan tugas-tugas yang sulit dan saling memunculkan
strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif di dalam daerah pengembangan
terdekat/proksimal masing-masing. Kedua,
pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran menekankan perancahan (scaffolding). Dengan scaffolding, semakin lama
siswa semakin dapat mengambil tanggungjawab untuk pembelajarannya sendiri.
a. Pengelolaan
pembelajaran
Interaksi
sosial individu dengan lingkungannya sengat mempengaruhi perkembanganbelajar
seseorang, sehingga perkemkembangan sifat-sifat dan jenis manusia akan
dipengaruhi oleh kedua unsur tersebut. Menurut Vygotsky dalam Slavin (2000),
peserta didik melaksanakan aktivitas belajar melalui interaksi dengan orang
dewasa dan teman sejawat yang mempunyai kemampuan lebih. Interaksi sosial ini
memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual peserta
didik.
b. Pemberian
bimbingan
Menurut
Vygotsky, tujuan belajar akan tercapai dengan belajar menyelesaikan tugas-tugas
yang belum dipelajari tetapi tugas-tugas tersebut masih berada dalam daerah
perkembangan terdekat mereka (Wersch,1985), yaitu tugas-tugas yang terletak di
atas peringkat perkembangannya. Menurut Vygotsky, pada saat peserta didik
melaksanakan aktivitas di dalam daerah perkembangan terdekat mereka, tugas yang
tidak dapat diselesaikan sendiri akan dapat mereka selesaikan dengan bimbingan
atau bantuan orang lain.
2.2 Implikasi Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Adapun implikasi dari teori belajar
konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai
berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah
menghasilkan individu atau
anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang
dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang
memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta
didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui
belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan
(3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang
sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan
teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi
pengetahuan pada diri peserta didik.
Dikatakan
juga bahwa pembelajaran yang memenuhi metode konstruktivis hendaknya memenuhi
beberapa prinsip, yaitu: a) menyediakan pengalaman belajar yang menjadikan
peserta didik dapat melakukan konstruksi pengetahuan; b) pembelajaran
dilaksanakan dengan mengkaitkan kepada kehidupan nyata; c) pembelajaran
dilakukan dengan mengkaitkan kepada kenyataan yang sesuai; d) memotivasi
peserta didik untuk aktif dalam pembelajaran; e) pembelajaran dilaksanakan
dengan menyesuaikan kepada kehidupan social peserta didik; f) pembelajaran
menggunakan barbagia sarana; g) melibatkan peringkat emosional peserta didik
dalam mengkonstruksi pengetahuan peserta didik (Knuth & Cunningham,1996).